Peran Seorang Guru Dalam Pembentukan Karakter Bangsa Anti Korupsi Melalui Pendidikan Karakter






Oleh: AGUNG WICAKSONO
UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Korupsi di Indonesia sudah mencapai taraf yang sangat mengkhawatirkan. Pengaruh negatif korupsi beserta efek destruktifnya tidak lagi hanya dirasakan sebatas pada bidang ekonomi, lebih jauh lagi korupsi telah merusak berbagai bidang kehidupan mulai dari sosial, budaya, politik, hukum hingga menyebabkan krisis moral. Tidak heran apabila predikat negara dengan tingkat korupsi paling tinggi selalu melekat dengan negara kita dan seakan sulit dipisahkan. Menurut hasil survei yang dilakukan oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC) pada tahun 2006, 2008, 2009 serta yang terakhir pada 2010 masih menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di Asia.
Pada tahun 2008, Indonesia menduduki posisi ke-3 dengan  nilai tingkat korupsi 7.98 setelah Filipina dengan tingkat korupsi 9.0 dan Thailand dengan tingkat korupsi 8.0. Pada tahun 2009, Indonesia ‘berhasil’ menyabet prestasi sebagai negara terkorup dari 16 negara surveilances dari PERC 2009. Indonesia mendapat nilai korupsi 8.32 disusul Thailand (7.63),  Kamboja (7,25), India (7,21) and Vietnam  (7,11), Filipina (7,0). Pada tahun 2010, predikat negara terkorup kembali diperoleh Indonesia. Hasil survei PERC ini menyebutkan Indonesia mencetak nilai 9.07 dari angka.
Diluar indikator penilaian dalam survei-survei terkait korupsi di Indonesia, masyarakat dapat dengan jelas menyaksikan bagaimana perilaku korupsi yang telah berkembang beraneka ragam bentuknya berlangsung secara sporadis hampir di seluruh tingkatan pemerintahan
Mulai dari tingkatan seperti pembuatan kartu tanda penduduk, pengurusan ijin mengemudi, jual beli proyek, anggaran fiktif hingga penggelapan pajak dan korupsi demi kedudukan politis menjadi fenomena yang jelas terlihat mengakar di berbagai instansi pemerintah. Kondisi birokrasi yang masih membudayakan patrimonialistik dan sarat kepentingan membuat individu didalamnya terbawa dalam perilaku para aparatur negara. Tidak jarang aparatur negara terpaksa melegalkan korupsi karena melemahnya rasionalitas dan nilai moral akibat pertentangan antara rasa idealisme dengan seperangkat aturan dalam sistem birokrasi.
Tereduksinya nilai-nilai normatif yang dalam perilaku birokrat sehingga secara sadar melakukan tindakan korupsi membuat masyarakat ikut tertular budaya korupsi ketika terjadi interaksi pemenuhan kebutuhan masyarakat.  Dalam hal ini masyarakat sebagai pihak yang membutuhkan layanan memiliki posisi yang lemah dibanding birokrat yang memiliki kewenangan dan legitimasi kekuasaan sehingga apapun yang dilakukan oleh aparat tersebut, masyarakat cenderung akan menerima dan menuruti demi mendapatkan kelancaran dalam pemberian layanan.
Korupsi yang semakin mengakar kuat dan mengembangkan efek destruktifnya hingga taraf rusaknya moralitas masyarakat tidak hanya meruntuhkan kepercayaan publik terhadap kinerja aparat pemerintah dan birokrasi, tetapi juga telah “berhasil” menggeser nilai normatif yang dianut dalam masyarakat. Masyarakat semakin permisif terhadap tindakan korupsi yang dilakukan oleh birokrat. Masyarakat tidak lagi mau dan berani untuk melaporkan korupsi yang terjadi secara kasat mata, mereka justru terjebak dalam arus patronalistik demi kelancaran urusan kepentingan mereka dengan menganggap korupsi sebagai balas jasa sosial. Bila masyarakat memberikan toleransi kepada tindakan korupsi, maka pada akhirnya korupsi akan mendarah daging dan membudaya dalam kehidupan masyarakat. Jika telah mencapai tahap itu, maka telah muncul yang dinamakan “budaya korupsi” seperti yang diungkapkan oleh Robert Klitgaard (2001).
Istilah budaya yang dimaksud Klitgaard bukanlah merujuk pada semua orang Indonesia melakukan korupsi, tetapi lebih mengarah pada keengganan mayoritas warga masyarakat untuk melaporkan oknum pejabat, birokrat, oknum aparat hukum yang melakukan korupsi.
Fenomena tersebut merupakan suatu bentuk ketidakberdayaan rasa frustasi masyarakat menghadapi korupsi yang tidak kunjung bisa diatasi. Korupsi telah menghancurkan keberanian warga masyarakat untuk berpegang teguh pada nilai-nilai moral yang tinggi. Nilai-nilai normatif menjadi lemah dan moralitas masyarakat menjadi merosot menyikapi parahnya perilaku korupsi.
Untuk mencegah masyarakat semakin bersikap permisif yang dapat menimbulkan budaya korupsi dan berujung pada kleptokrasi, maka diperlukan upaya-upaya secara intensif membangun kembali karakter warga masyarakat melalui penanaman nilai nilai normatif dan moralitas. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui pendidikan karakter sejak dini di masyarakat dengan harapan dapat menemukan pranata-pranata pembangunan yang berwatak, bermoral serta mendapatkan bentuk interaksi yang ideal antara aparatur negara dengan warga negara. Sehingga pada akhirnya dapat menghapus budaya toleransi permisif terhadap korupsi sekaligus melahirkan generasi yang rasional sekaligus memiliki acuan moral dan naluri etis normatif yang tinggi.
Perilaku korupsi yang mengakar pada tiap tingkatan pemerintah telah menghancurkan keberanian seseorang untuk berpegang teguh pada nilai-nilai etis normatif dan moral. Korupsi yang terjadi atas dasar kebutuhan (corruption by need) dan atas dasar keserakahan (corruption by greed))  semakin memperburuk lingkungan kerja aparat pemerintah sehingga membentuk sistem yang membudayakan korupsi. Sistem birokrasi yang korup bersifat melemahkan moralitas dan rasionalitas tidak hanya individu yang bekerja didalamnya tetapi juga masyarakat penggunanya sehingga memaksa keduanya untuk permisif.
Masyarakat “terpaksa” meninggalkan nilai-nilai moral yang seharusnya dijunjung tinggi ketika harus berhadapan dengan birokrasi yang korup. Masyarakat terdorong untuk bersikap permisif akibat ketidakberdayaan dan lemahnya kedudukannya ketika harus menghadapi birokrat yang memiliki kewenangan dan legitimasi kekuasaan dalam hal pelayanan kepada masyarakat. Untuk itu pendidikan karakter berperan menanamkan kembali nilai-nilai etis normatif sehingga dapat menumbuhkan kembali keberanian masyarakat untuk berpikir rasional untuk mengatakan tidak pada korupsi.
Oval: 23Melalui pendidikan karakter dapat dilakukan pengembangan kualitas manusia yang memiliki keutuhan karakter, yang hidup sesuai asas nilai normatif yang konsisten, dan tidak mudah menyelewengkan kebajikan moral.Penanaman, penghayatan dan penerapan perilaku yang menjunjung tinggi nilai normatif dan melakukan kebaikan harus dilatih sejak dini. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui pendekatan pedagogi (membimbing dan mengajarkan) baik dilingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Hal ini dilakukan dalam rangka mempersiapkan generasi masa depan yang mampu mempertimbangkan nilai etis normatif dan rasionalitas dalam berpikir, bersikap dan bertindak.
Sementara bagi individu yang telah mengenal nilai-nilai moral dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan andragogi. Tujuannya adalah memperteguh kekuatan seseorang untuk terus berpegang pada nilai etis normatif dan moralitas selama hidupnya. Jika kedua hal ini dapat dilaksanakan secara terintegrasi, konsisten dan efektif maka akan lahir masyarakat yang cerdas secara intelektual, cerda emosi dan nurani serta cerdas dalam berperilaku dengan selalu mengutamakan kebajikan.
Pendidikan karakter akan menyelamatkan aparat birokrasi dan masyarakat pada umumnya dari proses identifikasi diri kedalam tindakan yang korup. Pendidikan karakter sebagai yang bersifat preventif seperti penanaman nilai-ilai etis normatif dan moralitas perlu disinergikan dengan pendidikan karakter yang bersifat represif berupa penegakan sanksi sosial, moral dan sanksi hukum. Hal ini dimaksudkan setelah adanya penanaman nilai-nilai moral, akan berlanjut pada penghayatan dan implementasinya dalam perilaku sehari-hari, sementara sanksi digunakan sebagai kontrol atas kepatuhan terhadap nilai-nilai tersebut.
Dengan demikian, masyarakat yang memiliki moralitas dan nilai normatif yang dijunjung tinggi tidak akan memiliki posisi yang lemah terhadap birokrasi yang korup karena keberaniannya untuk mengatakan tidak pada korupsi sementara disisi lain pejabat birokrasi akan terkoreksi melalui perbaikan moralitas dan penegasan nilai-nilai etis normatif. Masing-masing pihak secara sadar akan mempertimbangkan adanya sanksi sosial dan hukum yang telah siap menjatuhkan sanksi bagi siapa saja yang mentolerir dan permisif terhadap korupsi.




DAFTAR PUSTAKA

Albrow , Martin. 1989. Birokrasi. Yogyakarta: Tiara Wacana
Departeman Pendidikan dan Kebudayaan. 1988.Kamus Besar Bahasa Indonesia
Hanifah, Abu Toleransi Dalam Masyarakat Plural Memperkuat Ketahanan Sosial, 2009
Hussain Alatas,Syed. 1987. Korupsi: sifat, sebab dan fungsi. Jakarta: LP3ES
Kumorotomo, Wahyudi.1992. Etika Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali Pers
Zuriah, Nurul. 2007. Pendidikan Moral & Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan. Jakarta: Bumi Aksara
Zuchdi, Darmiyati. 2008. Humanisasi Pendidikan. Jakarta: Bumi aksara




Biodata Penulis:

Nama           : Agung Wicaksono

Kampus        : Universitas Brawijaya









 Artikel ini dibuat dalam rangka mengikuti Lomba Artikel Ilmiah "Peran Guru Dalam Membangun Karakter Bangsa" yang diselenggarakan oleh Generasi Mahasiswa Ilmiah (Gemail) UMN Al-Washliyah
Comments
0 Comments

0 komentar: