GURU SEBAGAI MODEL DALAM IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER TERHADAP PESERTA DIDIK DI SEKOLAH


 

Oleh : Sri Oktapiani
Universitas Negeri Medan

Fenomena hari ini adalah Indonesia mengalami satu krisis terbesar dan jauh lebih dahsyat dari krisis energi, kesehatan, pangan, transportasi, dan sebagainya. Krisis tersebut adalah krisis keteladanan. Hal ini disebabkan oleh semakin menipisnya nilai-nilai karakter yang tertanam bagi bangsa Indonesia. Pejabat pemerintah yang seharusnya mencerminkan sosok berkarakter justru gagal memberikan wajah positif pendidikan berkarakter. Dalam banyak kesempatan, politisi Indonesia dan aparat penegak hukum mempertontonkan sifat yang kontraproduktif. Penyimpangan perilaku tersebut merefleksikan minimnya teladan dalam pendidikan karakter. Dalam hal ini, pendidikan karakter adalah bagian utama pendidikan yang tidak hanya difokuskan pada aspek kognitif yang bersifat teknis, tetapi harus mampu menyentuh kemampuan soft skill seperti aspek spiritual, emosional, sosial, fisik, dan seni. Yang lebih utama adalah karakter peserta didik yang mulia. Berdasarkan penelitian Harvard University AS mengungkapkan bahwa kesuksesan seseorang (peserta didik) 80% ditentukan oleh kemampuan mengelola diri (soft skill) dan 20% ditentukan oleh kemampuan teknis. Untuk melihat itu semua, peserta didik membutuhkan sosok teladan yang dapat diitiru.
Guru merupakan figur manusia yang menempati posisi dan memegang peran penting dalam pendidikan yang memberikan perlindungan, pengajaran dan kebiasaan - kebiasaan  baru yang mendukung. Menurut  Covey (1997) guru memiliki peranan yang sangat berpengaruh dalam modelling (Example of trustworthness). Guru adalah contoh atau model bagi peserta didik. Tidak dapat disangkal bahwa contoh guru mempunyai pengaruh yang sangat kuat bagi peserta didik, sehingga Schweitz mengatakan bahwa ada tiga prinsip dalam mengembangkan peserta didik  yaitu pertama contoh, kedua contoh dan ketiga contoh. Guru merupakan model bagi peserta didik baik positif maupun negatif dan turut memberikan pola bagi way of life peserta didik. Melalui modelling ini guru akan turut mewariskan cara berpikirnya kepada peserta didik, oleh karena itu maka peranan modelling merupakan suatu yang sangat mendasar. Melalui modelling peserta didik juga akan belajar tentang sikap proaktif, sikap respek dan kasih sayang.
Selain itu, guru merupakan ujung tombak pendidikan sebab secara langsung berupaya mempengaruhi, membina dan mengembangkan peserta didik, sebagai ujung tombak, guru dituntut untuk memiliki kemampuan dasar yang diperlukan sebagai pendidik, pembimbing dan pengajar dan kemampuan tersebut tercermin pada kompetensi kepribadian guru.
Dalam Standar Nasional Pendidikan, pasal 28 ayat (3) butir b dikemukakan bahwa kompetensi kepribadian adalah kemampuan yang mencerminkan kepribadian yang mantap stabil, dewasa, arif dan berwibawa, serta menjadi teladan bagi peserta didik dan berakhlak mulia.
Guru sebagai teladan bagi peserta didiknya harus memiliki sikap dan kepribadian utuh yang dapat dijadikan tokoh panutan idola dalam seluruh aspek kehidupannya. Dalam paradigma sebagian pakar pendidikan, kepribadian seorang guru tersebut meliputi (1) kemampuan mengembangkan kepribadian, (2) kemampuan berinteraksi dan berkomunikasi secara arif bijaksana, dan (3) kemampuan melaksanakan bimbingan dan penyuluhan. Kompetensi kepribadian terkait pula dengan penampilan sosok guru sebagai individu yang mempunyai kedisiplinan, berpenampilan baik, bertanggungjawab, memiliki komitmen, dan menjadi teladan.
Keteladanan dan pembiasaan guru di sekolah adalah metode yang paling efektif untuk menumbuhkan akhlakul karimah pada peserta didik. Guru diharapkan mampu menjadi model dalam pembelajaran pendidikan karakter, baik pendidikan karakter kebangsaan (nasionalisme) maupun pendidikan karakter keagamaan (akhlak). Kegiatan pembiasaan dapat di integrasikan pada proses pembelajaran di sekolah, misalnya gotong royong, bakti sosial, shalat berjamaah, membaca Al-Qur’an. Beberapa contoh kegiatan tersebut wajib diikuti oleh warga sekolah, termasuk guru, sehingga dalam hal ini peran guru tidak hanya sebagai “penganjur yang baik” kepada peserta didiknya.
Oleh karena itu, keteladanan dalam pendidikan sangat penting dan bisa berpengaruh terhadap proses pendidikan, khususnya dalam membentuk aspek moral, spiritual, dan etos sosial peserta didik. Keteladanan merupakan metode pendidikan yang terbaik dan yang paling membekas.
Menjadi seorang guru yang mampu memberi suri teladan meniscayakan jabatan guru sebagai pilihan utama yang keluar dari lubuk hati yang paling dalam.
Fakta tersebut tentu berbeda bila seseorang menjadi guru hanya disebabkan karena situasi terpaksa, sehingga guru seperti ini tentu dedikasinya rendah. Pada konteks ini, tugas dan tanggungjawab guru bukan sekadar mentransfer ilmu pengetahuan kepada anak didik, tetapi lebih dari itu, yakni seorang guru juga berkewajiban membentuk watak dan jiwa peserta didik yang sebenarnya. Hal ini artinya guru memiliki tugas dan tanggung jawab yang kompleks terhadap pencapaian tujuan pendidikan, di mana guru tidak hanya dituntut untuk menguasai ilmu yang akan diajarkan dan memiliki seperangkat pengetahuan dan keterampilan teknis mengajar, namun guru juga dituntut untuk menampilkan kepribadian akhlak yang mampu menjadi teladan bagi peserta didik.
Kemudian, guru harus berakhlakul karimah, karena guru adalah seorang penasehat bagi peserta didik. Dengan berakhlak mulia dalam keadaan bagaimanapun guru harus memiliki rasa percaya diri, istiqomah dan tidak tergoyahkan. Kompetensi kepribadian guru yang dilandasi dengan akhlak mulia tentu saja tidak tumbuh dengan sendirinya, tetapi memerlukan ijtihad yakni usaha sungguh – sungguh, kerja keras tanpa mengenal lelah dan dengan niat ibadah tantunya. Dalam hal ini, guru harus merapatkan kembali barisannya, meluruskan niatnya, bahkan menjadi guru bukan semata – mata untuk kepentingan duniawi. Memperbaiki ikhtiar terutama berkaitan dengan kompetisi pribadinya dengan tetap bertawakal kepada Allah. Melalui guru yang yang demikian kita berharap pendidikan menjadi ajang pembentukan karakter bangsa.
Norlander-Case, Reagen, dan Charles Case dalam buku The Professional Teacher,  mengungkapkan bahwa tugas mengajar merupakan profesi moral yang mesti dimiliki oleh seorang guru. Senada dengan prinsip tersebut, Zakiah Darajat menyatakan bahwa persyaratan seorang guru di samping harus memiliki kedalaman ilmu pengetahuan, ia juga bahkan mesti seorang yang bertakwa kepada Allah dan mempunyai akhlak atau berkelakuan baik.
Hal ini berarti bahwa syarat krusial bagi seorang guru adalah kepribadiannya yang luhur, mulia, dan bermoral sehingga mampu menjadi cermin yang memantulkan semua akhlak mulia tersebut bagi seluruh murid-muridnya. Dengan kata lain, seorang guru yang berkepribadian mulia adalah seorang guru yang mampu memberi keteladanan bagi peserta didiknya.
Secara sederhana mudah dipahami bahwa guru yang tidak bertakwa sangat sulit atau tidak mungkin bisa mendidik murid-muridnya menjelma orang-orang yang bertakwa. Begitu pula para guru yang tidak memiliki akhlak yang mulia atau budi pekerti yang luhur tidak akan mungkin mampu mendidik siswa-siswa mereka menjadi orang-orang yang berakhlak mulia. Padahal pendidikan karakter atau akhlak merupakan tujuan utama dari pendidikan.
Di sinilah dalam menunaikan tugasnya seorang guru bukan hanya sebatas kata-kata, akan tetapi juga dalam bentuk perilaku, tindakan, dan contoh-contoh sehingga mampu menjadi teladan dan bisa memberi motivasi bagi siswa-siswanya. Menurut pengalaman para ahli pendidikan, sikap dan tingkah laku seorang guru jauh lebih efektif dibanding dengan perkataan yang tidak dibarengi dengan amal nyata. Lebih jauh, pembangunan karakter seorang guru sejak awal sebelum mentransmisikan gagasan-gagasannya kepada peserta didiknya, dalam kajian ilmu psikologi modern diakui nilai signifikansinya. Stephen R. Covey, mengakui karakter seseoranglah yang melakukan komunikasi paling fasih sehingga mampu memberikan pencerahan bagi siapa pun yang mendengarnya.
Dalam perspektif sebagian pakar pendidikan, seorang guru bukan hanya mewakili sejumlah definisi yang menakjubkan, melainkan juga representasi dari kedudukan yang sangat mulia. Seorang guru adalah pahlawan tanpa pamrih, pahlawan tanpa tanda jasa, pahlawan ilmu, pahlawan kebaikan, pahlawan pendidikan, pembangun manusia, pembawa kultur, pioner, reformer dan  sebagainya.  Seluruh gambaran tersebut mencerminkan betapa agung, mulia, dan terhormatnya kedudukan seorang guru, sehingga sosok seorang guru memiliki atribut yang lengkap dengan kebaikan dan menjelma figur uswatun hasanah walau tidak sesempurna Rasul. Melalui guru yang berkarakter dan berakhlak mulialah, kita berharap pendidikan menjadi ajang pembentukan karakter bangsa.

Referensi
Bahri Djamarah, Syaiful. (2008). Psikologi Belajar. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Harta, I. (2010). Pengintegrasian pendidikan karakter dalam pembelajaran matematika SMP/MTs. Artikel diakses dari internet pada tanggal 22 Desember 2014.
Mu’in, Fatchul. 2011. Pendidikan Karakter : Konstruksi Teoretik dan Praktik. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media
Muallifah. 2009. Psycho Islamic Smart Parenting. Yogjakarta: DIVA Press.
Sudradjat, Akhmad. 2008. Pengertia Pendekatan, Strategi, Metode, Teknik, Taktik, dan Model Pembelajaran. Makalah. www.google.com diakses 22 Desember 2014.
Sulhan, Najib. 2010. Pendidikan Berbasis Karakter. Surabaya : PT. Jepe Press Media Utama.



BIODATA DIRI
1
Nama Lengkap
:  Sri Oktapiani
2
Tempat Tanggal Lahir
:  Pasar XII, 26 September 1994
3
No. Telp dan Email
:  085261086180 / srioktapiani@gmail.com
4
Alamat Lengkap
: Jl. H. M. Yamin Gang Said No. 8 A Medan Sumatera Utara
5
Universitas
: Universitas Negeri Medan
Comments
0 Comments

0 komentar: