Guru, Teman Dialektika Dalam Proses Pencarian Kebenaran






Oleh: Rahmat Syarifulloh
Universitas Negeri Semarang (UNNES)
 


Sebuah pemikiran adalah A (tesis), maka timbul pemikiran kontra A (antitesis). Untuk menyelesaikan pertentangan tersebut, maka dibuat pemikiran B (sintesis). Lantas muncul pemikiran kontra B (antisintesis). Upaya menyelesaikan pertentangan kedua adalah dengan membuat pemikiran C (sintesis). Muncul kembali pemikiran kontra C (antisintesis). Dan begitu seterusnya.

Sepenggal paragraf di atas merupakan buah pemikiran Socrates, seorang filsuf Yunani, yang menggambarkan pertentangan dalam proses mencari sebuah kebenaran. Dalam pemikirannya, Socrates beranggapan bahwa jawaban pertama sebagai suatu hipotesis. Hipotesis akan diselidiki dan diuji berdasarkan kriteria tertentu. Jika hipotesis pertama tidak dapat dipertahankan, karena mengandung hal-hal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka diganti dengan hipotesis kedua. Jika berdasarkan penyelidikan dan pengujian hipotesis kedua tidak diterima, maka muncul hipotesis ketiga. Dan begitu seterusnya sampai mendekati kebenaran (Setyawan, 2009).

Menurut Socrates, tiap proses penyelidikan dan pengujian tidak menyajikan kebenaran yang sempurna. Dengan begitu timbul pendangan dan alternatif baru. Tiap proses akan memasuki problema yang lebih dalam, yang kemungkinan mengarah pada kebenaran akan lebih dekat. Socrates berkeyakinan bahwa cara yang paling baik untuk mencari kebenaran adalah melalui perbincangan teratur (disciplined conversation), yang dalam prosesnya akan menghasilkan pernyataan tentang apa yang dimaksud.[1]

Pemikiran Socrates berkaitan erat dengan proses pencarian kebenaran dalam dunia pendidikan. Dalam hal ini, proses terjadi antara guru dan murid. Kebenaran dari suatu pengetahuan perlu ditelaah dan diuji, yang prosesnya menuntut adanya interaksi dan dialog dari keduanya. Guru sebagai fasilitator perlu bersikap dialogis, memberi kebebasan kepada murid untuk aktif belajar dan mengungkapkan gagasannya. Sedangkan murid perlu menyadari bahwa dirinya merupakan bagian penting dalam proses belajar mengajar. Sehingga dalam proses pencarian kebenaran perlu melakukan telaah kritis terhadap apa yang terima dari guru.

Proses dialogis dapat diwujudkan jika didasarkan pada kepercayaan dan sikap kritis. Guru perlu percaya dan yakin bahwa murid merupakan individu otonom yang memiliki hak untuk menentukan apa yang terbaik bagi dirinya sendiri. Hak tersebut perlu dihargai sebagai bentuk pemahaman bahwa murid merupakan subjek dalam pendidikan, bukan hanya guru. Sedangkan murid perlu paham bahwa apa yang disampaikan guru merupakan hal yang tidak mutlak kebenarannya. Perlu digali lebih dalam untuk mencari inti kebenaran dari apa yang disampaikan guru.

Kegiatan belajar mengajar harus menjadi tempat pertemuan di mana pengetahuan dicari bersama. Guru tidak boleh melembagakan tindakan yang bersifat dominatif, seperti model pembelajaran “banking system”, yang memposisikan murid sebagai tabungan, sedangkan guru sebagai penabung. Guru juga perlu menghindari anggapan yang memposisikan dirinya sebagai seorang individu yang maha tahu. Seorang guru perlu memandang murid sebagai individu yang dinamis, yang bernalar, kritis dan berdaya kreasi. Sehingga murid tidak tercabut dari aspek-aspek unik yang ada dalam dirinya. 

Penegasan konsep guru sebagai teman dialektika dapat dicapai dengan merekonstruksi kembali anggapan bahwa guru sebagai subjek dan murid sebagai objek pendidikan. Persepsi seperti ini tidak menunjukkan adannya kesetaraan kedudukan dalam pendidikan. Artinya, masih ada dominasi dari salah satu individu. Untuk menyetarakan kedudukan, guru perlu merekonstruksi bahwa yang dimaksud subjek dalam pendidikan adalah guru dan murid. Dengan kesetaraan kedudukan, maka konsep guru sebagai teman dialektika dapat diterapkan dalam proses pencarian kebenaran suatu ilmu pengetahuan.

Terwujudnya kesetaraan kedudukan guru dan murid sebagai subjek pendidikan, dan dengan kesadaran kebersamaan dalam melakukan penalaahan dan pengujian kebenaran ilmu pengetahuan, saya yakin inilah proses pendidikan yang membebaskan. Pendidikan yang proses pencarian kebenaran suatu ilmu pengetahuan diperoleh dari interaksi emosional sebagai seorang teman. Pendidikan yang dilandaskan pada rasa kekeluargaan. Dan inilah yang dimaksud dengan pendidikan yang memanusiakan manusia. Dengan kata lain, guru sebagai teman dialektika tidak saja memberikan ilmu pengetahuan, namun juga mengajak murid untuk memahami, menyelami dan menghayatinya. Dengan demikian, tidak hanya potensi intelektual murid yang tersentuh, tapi juga kemanusiaannya.


Daftar Pustaka
Kurnia, Vina. 2009. Mengembalikan Hakikat Pendidikan. http://www.karawang-info.com/?p=2089. Diakses pada 27 September 2014.
Mahfud, Choirul. 2009. Pendidikan Multikultural. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Manggeng, Marthen. 2005. Pendidikan yang Membebaskan Menurut Paulo Freire dan Relevansinya dalam Konteks Indonesia. Jurnal Teologi Kontekstual. Edisi No. 8.
Salim, Agus dkk. 2007. Indonesia Belajarlah! Membangun Pendidikan Indonesia. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang dan Tiara Wacana.
Setyawan, Andi. 2009. Posisi Siswa Sebagai Subjek Dalam Sistem Pendidikan Nasional. Skripsi. Universitas Indonesia.
Sudrajat, Ajat. Pengertian Filsafat. http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/Prof.20Dr.%20Ajat%20Sudrajat,%20M.Ag./BAB%20%201-%20Pengertian%20Filsafat.pdf. Diunduh 20 Desember 2014.
UU No. 20 Tahun 2003. http://kemenag.go.id/file/dokumen/UU2003.pdf. Diunduh 13 Desember 2014.
Zuchdi, Darmiyati. 2008. Humanisasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.


[1] Sudrajat, Ajat. Pengertian Filsafat. http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/Prof.%20Dr.%20Ajat%20Sudrajat,%20M.Ag./BAB%20%201-%20Pengertian%20Filsafat.pdf. Diunduh 20 Desember 2014.


Identitas Diri

Nama                           : Rahmat Syarifulloh
Tempat, tanggal lahir     : Payungrejo, 26 Juli 1992
Perguruan tinggi            : Universitas Negeri Semarang
Program studi               : Akuntasi
Email                            : mudainme@gmail.com
Kontak                         : 089654516897
Alamat domisili            : Gang Nangka RT 01 RW 01 No 04, Sekaran, Gunungpati, Semarang, Jawa Tengah
 

Artikel ini dibuat dalam rangka mengikuti Lomba Artikel Ilmiah "Peran Guru Dalam Membangun Karakter Bangsa" yang diselenggarakan oleh Generasi Mahasiswa Ilmiah (Gemail) UMN Al-Washliyah


Comments
0 Comments

0 komentar: