Oleh: Shinta Hilmy Izzati
Institut Teknologi Sepuluh November
Kaum intelektual adalah sumber daya manusia yang amat potensial dalam
proses perekayasaan mutu kehidupan. Suatu bangsa yang mempunyai banyak pakar di
berbagai bidang akan mempunyai kans (peluang) menjadi bangsa terdepan dalam
mewarnai peradaban manusia. Asumsi ini terbukti dalam kasus Jepang dan Jerman.
Kedua bangsa ini bangkit dari puing kehancuran Perang Dunia II melalui proyek
pendidikan dan pengajaran sebagai wahana penggemblengan kaum intelektual.
Hampir 33% anggaran belanja negara dialokasikan demi terselenggaranya proyek
investasi masa depan ini. Dan hari ini kita lihat kedua bangsa ini sedang
malang-melintang menjadi pendekar teknologi dan ekonomi dunia.
Keberhasilan itu sendiri tentu
tidak muncul begitu saja, semuanya butuh proses, waktu, usaha, dan pengorbanan
dari semua pihak yang berkepentingan. Dalam hal ini pihak orang tua, guru
(lembaga pendidikan) dan masyarakat (negara) adalah pihak-pihak yang harus
dapat menjalankan peranannya dalam proses pendidikan dan pengajaran ini. Tanpa
kesadaran ketiga unsur di atas sulit rasanya mengadakan optimalisasi mutu
lembaga pendidikan dan produk intelektual yang dihasilkannya.
Dari ketiga faktor yang
amat menentukan ini, kalau kita kaji lebih mendalam dengan tanpa maksud
mengabaikan peranan lainnya, ternyata guru menjadi faktor yang paling dominan
dalam menentukan corak dan warna anak didik. Sebab, ia sebagai penerima amanah
dan pelaksana kebijaksanaan adalah pihak yang bersentuhan langsung dengan objek
pendidikan, dan tentu akan lebih memberikan kesan tersendiri bagi anak didik. Meski secara kuantitas
relatif lebih singkat, sekitar 3-4 jam sehari, bagaimanapun guru tetap
mempunyai nilai lebih ketimbang orang tua dalam beraudiensi dengan para anak
didik, bahkan nampak lebih intensif dan terarah hubungan keduanya. Sementara
pihak orang tua sebagai pemberi amanah lebih cenderung berfungsi sebagai
pemantau dan pengawas, bukan pelaku langsung. Pada garis kebijaksanaan
pengajaran mereka berada pada posisi yang pasif. Sebaliknya, pihak negara
(masyarakat) hanya bisa sekedar menerapkan kebijaksanaan umum, fasilitas dan
legalitas yang diperlukan oleh lembaga pendidikan. Tidak dapat bersentuhan
langsung. Dengan demikian, secara psikis dan fisis kehadiran guru di hadapan
anak didik tetap mempunyai kedudukan yang lebih spesifik ketimbang pihak orang
tua ataupun masyarakat (negara).
Dr. Abu Bakar Akhmad as
Sayyid, pakar pendidikan dari Universitas Islam Imam Muhammad Ibnu Saud,
Riyadh, memahami benar kedudukan para pendidik yang amat strategis dalam
mewarnai calon pemimpin masa depan ini. Sebab pada kenyataannya, kaum
terpelajar merupakan lahan yang paling siap untuk menerima berbagai arus pemikiran yang masuk ke lingkungannya.
Sikap mereka yang terbuka, selalu haus ilmu pengetahuan, ditambah jiwa yang
masih dalam proses mencari jati diri dan essensi kehidupan, menjadikan mereka
sebagai sasaran para penyebar berbagai fikrah (paham/isme), baik fikrah al
bathil maupun al haq, untuk mencari simpatisan dan basis pengaruh di lingkungan
ini.
Oleh sebab itu, sebagai
seorang yang amat berkepentingan terhadap perkembangan pendidikan ini, pendidik
sudah selayaknya ikut aktif berperan serta dalam proses penyebaran budi pekerti
dan ikut membidani lahirnya generasi yang bermoral dan prestatif. Generasi
intelektual yang beriman kepada Tuhannya, komitmen terhadap cita-cita luhur
bangsanya, dan dirinya selalu memancar ruh dan semangat jihad, senang beramal
semata-mata mengharap Ridho Tuhannya, berakhlaq mulia, dan siap menjadi unsur
perubah dalam proses ishlah kehidupan manusia. Sebab hanya yang berkepribadian
mulialah yang sanggup membimbing manusia lainnya dalam kemuliaan pula. Demikian
sebaliknya, manusia amoral tidak mungkin dapat
membawa sesamanya dalam kemuliaan, sebab dia sendiri buta terhadap arti
kemuliaan.
Kalau dalam awal tulisan
ini kita mengambil ibrah bangsa Jepang dan Jerman, ini semata-mata karena
kelebihan mereka dalam bidang saintek yang tidak bisa kita pungkiri. Tapi
kelebihan itu sendiri pada akhirnya pasti akan runtuh manakala di bidang moral
dan perilaku tidak ditopang oleh keyakinan yang benar terhadap essensi
kehidupan ini.
Artikel ini dibuat
dalam rangka mengikuti Lomba Artikel Ilmiah "Peran Guru Dalam Membangun
Karakter Bangsa" yang diselenggarakan oleh Generasi Mahasiswa Ilmiah
(Gemail) UMN Al-Washliyah